Minggu, 27 April 2014

UNIVERSAL PRECAUTION PADA IBU HAMIL DENGAN HIV/AIDS


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama. Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mual, muntah, nafsu makan berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV/AIDS.
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 (Yopan, 2012).
Kasus HIV/AIDS di negara berkembang sungguh sangat mengerikan karena kasusnya mengalami kenaikan yang luar biasa yang mempengaruhi angka kesakitan dan kematian pada penduduk usia produktif. Hal ini  berdampak sangat buruk terhadap pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa dan dapat menyebabkan usia harapan hidup menjadi terhambat atau bahkan menjadi mundur. Selanjutnya dapat mengancam kehidupan penduduk bahkan kehidupan sebuah bangsa. Di Indonesia telah dilaporkan pula kasus HIV/AIDS pada bayi yang tertular dari ibunya yang mengidap HIV/AIDS dan pada remaja yang tertular karena berperilaku berisiko.
Tingginya tingkat penyebaran HIV/AIDS memerlukan suatu tindakan universal precautions untuk mencegah penyebaran infeksi. Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien, dimanapun  dan kapanpun serta pada semua pasien. Universal precautions bertujuan mengendalikan infeksi secara konsisten serta mencegah penularan bagi petugas kesehatan dan pasien.
Universal precautions meliputi, pengelolaan alat kesehatan habis pakai, cuci tangan guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diantara pemakaian sarung tangan untuk mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain, pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan, pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan, desinfeksi dan sterilisasi untuk alat yang digunakan ulang, pengelolaan linen. Peran tenaga kesehatan dalam perawatan pasien HIV/AIDS salah satunya adalah menerapkan universal precautions untuk mencegah penularan HIV/AIDS pada petugas sendiri, petugas, dan pasien lainnya.
A.    RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian HIV/AIDS?
2.      Apa pengertian Universal Precaution?
3.      Mengapa Universal Precautions diperlukan dalam tata laksana pada kasus HIV/AIDS pada ibu hamil?

B.     TUJUAN
1.      Tujuan Umum
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas yang diberikan untuk memenuhi Mata Kuliah Perkembangan Fetus, Neonatal, Anak, dan Kesehatan Masyarakat. Diharapkan setelah membaca makalah ini mahasiswa dapat mengetahui lebih dalam tentang pencegahan penularan infeksi HIV/AIDS khususnya pada ibu hamil melalui universal precautions.

2.      Tujuan Khusus
Diharapkan setelah membaca makalah ini, pembaca dapat :
a)    Mengetahui definisi dari HIV/AIDS
b)    Mengetahui definisi dari Universal Precaution
c)    Mengetahui pentingnya Universal Precautions pada kasus HIV/AIDS pada ibu hamil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      HIV/AIDS
1.    Pengertian HIV/AIDS
Menurut Andy (2011), Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virus penyebab adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Orang yang terinfeksi virus ini menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor/ kanker. Meskipun penanganan yang ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum bisa disembuhkan.
Virus HIV menyerang sel putih dan menjadikannya tempat berkembang biaknya Virus. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang penyakit, Tubuh kita lemah dan tidak mampu melawan penyakit yang datang dan akibatnya kita dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau pilek biasa (Andy, 2011).
Ketika tubuh manusia terkena virus HIV maka tidaklah langsung menyebabkan atau menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk menyebabkan AIDS atau HIV positif yang mematikan (Andy 2011).
Menurut Ayu (2012), HIV, virus penyebab AIDS, juga dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Ibu dengan viral load tinggi lebih mungkin menularkan HIV kepada bayinya. Namun tidak ada jumlah viral load yang cukup rendah untuk dianggap "aman". Infeksi dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat sebelum atau selama persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses persalinan berlangsung lama. Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. Meminum air susu dari ibu yang terinfeksi dapat juga mengakibatkan infeksi pada bayi. Ibu yang HIV-positif sebaiknya tidak memberi ASI kepada bayinya. Untuk mengurangi risiko infeksi ketika ayah yang HIV-positif, banyak pasangan yang menggunakan pencucian sperma dan inseminasi buatan.
2.      Gejala-gejala Penyakit HIV/AIDS
Seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu cara  untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang berisiko terkena virus HIV (Andy, 2011).
Menurut Andy (2011), adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS diantaranya adalah seperti dibawah ini :
a)         Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada dan demam seperti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosis pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.
b)        Saluran Pencernaan. Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.
c)         Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem protein dan energi didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga.
d)        System Persyarafan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.
e)         System Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.
f)         Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah ‘pelvic inflammatory disease (PID)’ dan mengalami masa haid yang tidak teratur (abnormal).
3.      Penularan Penyakit HIV/AIDS
Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan paling banyak ditemukan pada darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain bisa juga ditemukan, misalnya air susu ibu dan juga air liur, tapi jumlahnya sangat sedikit (Andy, 2011).
Sejumlah 75-85% penularan virus ini terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar (terutama para pemakai narkoba suntik yang dipakai bergantian), 3-5% dapat terjadi melalui transfusi darah yang tercemar (Andy, 2011).
Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif (15-50 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung meningkat (Andy, 2011).
Infeksi pada bayi dan anak-anak 90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV. sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan ibu yang terinfeksi HIV, akan tertular virus tersebut melalui infeksi yang terjadi selama dalam kandungan, proses persalinan dan pemberian ASI (Andy, 2011).
Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, resiko penularan dapat dikurangi menjadi 8% (Andy, 2011).
Penelitian baru menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif yang hamil tidak menjadi lebih sakit dibandingkan yang tidak hamil. Ini berarti menjadi hamil tidak mempengaruhi kesehatan perempuan HIV-positif (Andy, 2011).
Menurut Yopan (2012), peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah mereka yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak diketahui.
Ada beberapa cara penularan HIV/AIDS yaitu sebagai berikut :
a)         Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (Yopan, 2012).

b)        Transmisi Non Seksual
                                              i.       Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parenteral ini kurang dari 1%.
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90% (Yopan, 2012).
                                            ii.       Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah (Yopan, 2012).
c)          Penularan Masa Prenatal
HIV dapat ditularkan dari ibu ke bayinya dengan tiga cara yaitu di dalam uterus (lewat plasenta), sewaktu persalinan dan melalui air susu ibu. Pada bayi yang menyusui kira-kira separuhnya transmisi terjadi sewaktu sekitar persalinan, sepertiganya melalui menyusui ibu dan sebagian kecil di dalam uterus. Bayi terinfeksi yang tidak disusui ibunya, kira-kira dua pertiga dari transmisi terjadi sewaktu atau dekat dengan persalinan dan sepertiganya di dalam uterus (Ayu, 2012).
                                  i.          Kehamilan
Menurut Ayu (2012), kehamilan bisa berbahaya bagi wanita dengan HIV atau AIDS selama persalinan dan melahirkan. Ibu akan sering mengalami masalah-masalah sebagai berikut :
1)        Keguguran
2)        Demam, infeksi dan kesehatan menurun.
3)        Infeksi serius setelah melahirkan, yang sukar untuk di rawat dan mungkin mengancam jiwa ibu.
                                ii.          Melahirkan
Setelah melahirkan cucilah alat genitalia 2 kali sehari dengan sabun dan air bersih sehingga terlindungi dari infeksi (Yopan, 2012).
                              iii.          Menyusui
Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%. Infeksi HIV kadang-kadang ditularkan ke bayi melalui air susu ibu (ASI). Saat ini belum diketahui dengan pasti frekuensi kejadian seperti ini atau mengapa hanya terjadi pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada bayi yang lain. Di ASI terdapat lebih banyak virus HIV pada ibu-ibu yang baru saja terkena infeksi dan ibu-ibu yang telah memperlihatkan tanda-tanda penyakit AIDS. Setelah 6 bulan, sewaktu bayi menjadi lebih kuat dan besar, bahaya diare dan infeksi menjadi lebih baik. ASI dapat diganti dengan susu lain dan memberikan makanan tambahan. Dengan cara ini bayi akan mendapat manfaat ASI dengan resiko lebih kecil untuk terkena HIV (Yopan, 2012).
4.      Langkah-langkah untuk mencegah HIV/AIDS.
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan AIDS, belum ada vaksin yang dapat mencegah terjadinya AIDS, dan belum ada metode yang terbukti dapat menghilangkan infeksi pada karier HIV. Karena alasan itu, segala sesuatu harus dilakukan untuk mencegah transmisi HIV/AIDS.
Secara umum, langkah-langkah pencegahan penularan HIV/AIDS bisa dilakukan dengan menerapkan rumus ABCDE yaitu :
A : Abstinence atau Amannya tidak berhubungan seks.
B : Be faitful atau Bagusnya saling setia, hanya berhubungan seks dengan
     satu  pasangan.
C : Condom atau kondom selalu gunakan kondom setiap kali berhubungan  
      seks, terutama jika mempunyai banyak pasangan.
D : Drug atau Dianjurkan tidak nge-drug atau pakai Napza, terutama jenis  
      Napza yang disuntikan.
E : Equipment atau Enaknya pakai alat-alat yang bersih, steril, sekali
pakai,dan tidak bergantian. Misalnya; jarum suntik, pisau cukur, alat operasi, jarum tatoo, alat tindik dll.

B.     Universal Precaution (Kewaspadaan Universal)
1.      Pengertian Universal Precautions
Universal precation  adalah tindakan pengendalian infeksi sederhana yang digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien, setiap saat pada semua tempat, pelayanan dalam rangka pengurangi resiko penyebaran infeksi (Nursalam dan Ninuk, 2007).
Menurut Nursalam dan Ninuk (2007), kewaspadaan universal perlu diterapkan dengan tujuan:
a.    Mengendalikan infeksi secara konsisten.
b.    Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak terdiagnosa atau tidak terlihat seperti resiko.
c.    Mengurangi resiko bagi petugas kesehatan dan pasien.
d.   Asumsi bahwa resiko atau infeksi berbahaya.
Universal precautions saat ini dikenal dengan kewaspadaan standar, adapun kewaspadaan standar tersebut dirancang untuk mengurangi resiko infeksi terinfeksi penyakit menular pada petugas kesehatan baik dari sumber terinfeksi yang dketahui maupun yang tidak diketahui (Depkes, 2003).
Menurut Depkes (2003), rekomendasi kewaspadaan standar, terutama setelah terdiagnosis jenis infeksinya, rekomendasi dikategorikan sebagai berikut:

a.       Kategori IA
Sangat direkomendasikan untuk seluruh rumah sakit, telah didukung penelitian dan studi epidemiologi.
b.      Kategori IB
Sangat direkomendasikan untuk seluruh rumah sakit dan telah ditinjau efektif oleh ahli dilapangan, dan besar kesepakatan HICPAC (Hospital Infection Control Advisory Committee) sesuai dengan bukti rasional walaupun mungkin sebelum dilaksanakan suatu studi scientific.
c.       Kategori II
Dianjurkan untuk dilaksanakan dirumah sakit. Anjuran didukung studi klinis, dan epidemiologik, teori rasional yang kuat, studi dilaksanakan dibeberapa rumah sakit.
d.      Tidak direkomendasikan
Masalahnya belum ada penyelesaiannya. Belum ada bukti ilmiah yang menendai atau belum ada kesepakatan mengenai efikasinya.

2.      Komponen kewaspadaan standar
a.       Kebersihan tangan (mencuci tangan)
Mencuci tangan adalah proses secara mekanik melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air (Depkes, 2008).
Mencuci tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tidakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung diri lain. Tindakan ini penting untuk mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari infeksi (Nursalam dan Ninuk, 2007).
Indikator mencuci tangan digunakan dan harus dilakukan untuk antisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan yaitu:
1)        Sebelum melakukan tindakan, misalnya saat akan memeriksa (kontak langsung dengan klien), saat akan memakai sarung tangan bersih maupun steril, saat akan melakukan injeksi dan pemasangan infus.
2)        Setelah mekakukan tindakan, misalnya setelah memeriksa pasien, setelah memegang alat bekas pakai dan bahan yang terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa.
Menurut Nursalam dan Ninuk (2007), ada tiga cara cuci tangan yang dilaksanakan sesuai kebutuhan. Yaitu:
1)        Cuci tangan higienik atau rutin yaitu mengurangi kotoran dan flora yang ada ditangan dengan menggunakan sabun atau detergen.
2)        Cuci tangan aseptik yaitu cuci tangan sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan menggunakan antiseptik.
3)        Cuci tangan bedah yaitu sebelum melakukan tindakan bedah, cara aseptik dengan antiseptik dan sikat steril.

b.      Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Jenis tindakan yang beresiko mencakup tindakan rutin, tindakan bedah tulang, otopsi dan perawatan gigi dimana menggunakan bor dengan kecepatan putar yang tinggi (Depkes, 2003).
Peralatan pelindung diri meliputi sarung tangan, masker/respirator, pelindung mata (perisai muka, kacamata), kap, gaun, apron, dan barang lainya (Tiedjen, 2004).
1)      Sarung tangan
Melindungi tangan dari bahan infeksius dan melindungi pasien dari mikroorganisme pada tangan petugas. Alat ini merupakan pembatas fisik terpenting untuk mencegah penyebaran infeksi dan harus selalu diganti untuk mecegah infeksi silang.
Sarung tangan harus dipakai bilamana :
(a)       Akan terjadi kontak tangan pemeriksa dengan darah, cairan tubuh, selaput lendir, atau kulit yang terluka.
(b)       Akan melakukan tindakan medik invasif (pemasangan alat-alat vaskular seperti intravena perifer).
(c)       Akan membersihkan sampah terkontaminasi atau memegang permukaan yang terkontaminasi.
(Spiritia, 2004)
Sarung tangan mencegah penularan kuman patogen melalui cara kontak langsung maupun tidak langsung. Ada 3 jenis sarung tangan, yaitu :
(a)      Sarung tangan bedah, dipakai sewaktu melakukan tindakan invasif atau pembedahan.
(b)     Sarung tangan pemeriksaan, dipakai untuk melindungi petugas kesehatan sewaktu melakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin.
(c)      Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses peralatan menangani bahan-bahan terkontaminasi dan sewaktu membersihkan permukaan yang terkontaminasi.
(Depkes, 2003)
Yang dilakukan dan jangan dilakukan dalam pemakaian sarung  tangan :
(a)      Pakailah ukuran yang sesuai.
(b)     Gantilah sarung tangan secara berkala pada tindakan yang memerlukan waktu lama.
(c)      Potonglah kuku cukup pendek untuk mengurangi risiko robek atau berlubang.
(d)     Tariklah sarung tangan sampai meliputi tangan baju (jika pakai baju operasi).
(e)      Pakailah cairan pelembab untuk mencegah kulit dari kekeringan atau berkerut.
(f)      Jangan pakai cairan atau krim berbasis minyak, karena akan merusak sarung tangan.
(g)     Jangan pakai cairan pelembab yang terlalu wangi karena dapat merangsang kulit dan menyebabkan iritasi.
(h)     Jangan simpan sarung tangan di tempat dengan suhu terlalu panas atau terlalu dingin.
(Depkes, 2003)

Langkah-langkah penggunaan sarung tangan :
(a)      Siapkan kemasan sarung tangan steril yang sesuai.
(b)     Lakukan cuci tangan dengan seksama.
(c)      Buka pembungkus bagian paling luar dari kemasan sarung tangan. Pisahkan dan lepaskan sisi-sisinya.
(d)     Pegang bagian dalam kemasan dan letakkan pada permukaan yang bersih datar tepat di atas tinggi siku. Buka kemasan, jaga supaya sarung tangan tetap di atas permukaan bagian dalam pembungkus.
(e)      Jika sarung tangan tidak dibedak, ambil pak bedak dan pakai tipis-tipis pada tangan diatas wastafel atau keranjang sampah.
(f)      Identifikasi sarung tangan kanan dan kiri. Kenakan sarung tangan dominan terlebih dahulu.
(g)     Dengan ibu jari dan telunjuk serta jari tengah dari tangan non dominan, pegang tepi dari manset sarung tangan untuk tangan dominan sentuh hanya permukaan bagian dalam sarung tangan.
(h)     Pakai sarung tangan pada tangan dominan, biarkan manset dan pastikan manset tidak bertumpuk di pergelangan tangan. Pastikan ibu dan jari lainnya berada pada tempat yang tepat.
(i)       Dengan tangan yang dominan yang bersarung tangan selipkan jari di dalam manset sarung tangan kedua.
(j)       Kenakan sarung tangan kedua pada tangan nondominan. Jangan biarkan jari tangan dan ibu jari tangan dominan yang bersarung tangan menyentuh setiap bagian tangan non dominan yang dibuka. Jaga supaya ibu jari tangan dominan terabduksi kebelakang.
(k)     Setelah sarung tangan kedua dikenakan tautkan kedua tangan.
(Potter & Perry, 1997)





Gambar. 2.1. Cara Memakai Sarung Tangan Steril (Depkes, 2003)

Membuang sarung tangan :
(a)      Pegang bagian luar dari satu manset dengan tangan yang bersarung tangan hindari menyentuh pergelangan tangan.
(b)     Lepaskan sarung tangan, balikan menjadi bagian dalam keluar. Buang ke pembuangan.
(c)      Dengan jari yang telah lepas tersebut ambil bagian dalam dari sarung tangan yang masih dikenakan lepaskan sarung tangan bagian dalam keluar. Buang di tempat pembuangan.
(Potter & Perry, 1997)
 




Gambar. 2.2. Cara Melepas Sarung Tangan (Depkes, 2003)

2)      Masker
Masker harus cukup besar untuk menutup hidung, muka bagian bawah, rahang dan semua rambut muka. Masker dipakai untuk menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan atau petugas bedah bicara, batuk, atau bersin dan juga untuk mencegah cipratan darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi masuk kedalam hidung atau mulut petugas kesehatan. Masker jika tidak terbuat dari bahan tahan cairan, bagaimanapun juga tidak efektif dalam mencegah dengan baik.
3)      Respirator
Masker jenis khusus, disebut respirator partikel, yang dianjurkan dalam situasi memfilter udara yang tertarik nafas dianggap sangat penting (umpamanya, dalam perawatan orang dengan tuberculosis paru).
4)      Pelindung mata
Melindungi staf kalau terjadi cipratan darah atau cairan tubuh lainya yang terkontaminasi dengan melindungi mata. Pelindung mata termasuk pelindung plastik yan jernih. Kacamata pengaman, pelindung muka. Kacamata yang dibuat dengan resep dokter atau kacamata dengan lensa normal juga dapat dipakai.
5)      Tutup kepala/kap
Dipakai untuk menutup rambut dan kepala agar guguran kulit dan rambut tidak masuk dalam luka sewaktu pembedahan. Kap harus dapat menutup semua rambut.
6)      Gaun
Gaun penutup, dipakai untuk menutupi baju rumah. Gaun ini dipakai untuk melindungi pakaian petugas pelayanan kesehatan.Gaun bedah, petama kali digunakan untuk melindungi pasien dari mikroorganisme yang terdapat di abdomen dan lengan dari staf perawatan kesehatan sewaktu pembedahan.
7)      Apron
Terbuat dari bahan karet atau plastik sebagai suatu pembatas tahan air di bagian depan dari petugas kesehatan.


8)      Alas kaki
Dipakai untuk melindungi kaki dari perlukaan oleh benda tajam atau berat atau dari cairan yang kebetulan jatuh atau menetes pada kaki.

3.      Pengelolaan alat kesehatan
Pengelolaan alat kesehatan dapat mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan, atau menjamin alat tersebut selalu dalam kondisi steril dan siap pakai. Pemilihan pengelolaan alat  tergantung pada kegunaan alat dan berhubungan dengan tingkat resiko penyebaran  infeksi. Pengelolaan alat dilakukan melalui empat  tahap:
a)      Dekontaminasi
b)      Pencucian
c)      Sterilisasi atau DTT
d)      Penyimpanan

4.      Kewaspadaan Universal di Kamar Bersalin
Tindakan di kamar bersalin harus memperhatikan kewaspadaan universal karena kemungkinan kontak dengan darah dan cairan tubuh ditempat ini sangat tinggi. Setiap spesimen darah dan cairan tubuh harus mendapat perlakuan sebagai bahan infeksius.
a)         Pemeliharaan Kamar Bersalin
(1)   Lingkungan dijaga selalau dalam keadaan bersih dari debu
(2)   Linen dijaga selalu bersih untuk setiap pasien, segera ganti apabila tampak kotor atau ganti pasien
(3)   Alat rumah tangga harus dilakukan perawatan dengan teliti
(4)   Setiap hari kamar tidur dilap dengan larutan klorin 0,5% dan dibilas dengan air
(5)   Setiap ada percikan atau tumpahan darah sedikit atau banyak, harus segera didekontaminasi dengan larutan klorin 0,5% selama 10 menit, kemudian dilap kembali sampai kering, dan dipel dengan deterjen dan air
(2)     Lantai dipel minimal 4 kali dalam sehari dengan menggunakaan lisol, dan dibersihkan minimal sekali sehari dengan menggunakan deterjen dan air cukup
b)        Ketentuan Umum Bagi Petugas di Kamar Bersalin
(1)     Patuh menerapkan kewaspadaan universal
(2)     Melakukan cuci tangan
(3)     Sebelum bekerja, sebelum memakai sarung tangan, setelah membuka sarung tangan, dan sebelum keluar ruangan
(4)     Sebelum dan sesudah melakukan tindakan
(5)     Petugas yang berambut panjang, rambutnya harus diikat dan ditutup
(6)     Petugas dilarang makan, minum dan merokok didalam kamar bersalin
(7)     Petugas yang menderita luka terbuka atau lesi terbuka pada kulit tidak boleh melakukan tindakan invasif kepada pasien. Luka harus diobati sampai sembuh sebelum diperkenankan bekerja. Luka tergores ringan harus ditutupi dengan plester kedap air
(8)     Bila menggunakan alat tajam, misal skalpel, jarum, gunting, petugas harus memperhatikan posisi bagian runcing alat tajam tersebut menjauhi tubuh petugas

c)         Meja/Tempat Tidur untuk Bersalin
(1)     Meja bersalin harus selalu dalam keadaan rapih atau bersih
(2)     Barang pribadi/milik pasien dilarang ditaruh diatas tempat tidur/meja bersalin
(3)     Permukaan meja harus dibersihkan dengan disinfektan sebelum dan sesudah digunakan
(4)     Tumpahan atau percikan darah/cairan tubuh harus segera didekontaminasi dan dibersihkan kembali dengan disinfektan
(5)     Sampah medis seperti darah, cairan tubuh, kasa terkontaminasi darah harus ditangani sesuai dengan prosedur dekontaminasi

d)        Alat Pelindung Diri di Kamar Bersalin
(1)     Alat peindung harus selalu dikenakan didalam kamar bersalin
(2)     Kegiatan dikamar bersalin yang membutuhkan lengan/tangan untuk manipulasi intrauterin atau pemeriksaan dalam, tentunya harus menggunakan gaun pelindung/celemek plastik dan sarung tangan yang mencapai siku
(3)     Pada saat menangani atau menolong persalinan, maka petugas harus selalu menggunakan :
                                                i.     Penutup kapala
                                              ii.     Sarung tangan/celemek plastic
                                            iii.     Pelindung wajah/masker
                                            iv.     Sepatu pelindung yang menutup seluruh punggung dan telapak kaki
(4)     Satu set Alat Pelindung Diri tersebut harus dikenakan untuk menangani satu pasien dan tidak dibawa keluar kecuali untuk dicuci, termasuk tidak boleh dibawa ke ruang makan atau tempat lainnya

e)         Penanganan Bayi
(1)     Penolong bayi baru lahir harus menggunakan sarung tangan
(2)     Cara penghisapan lendir dengan mulut penolong harus ditinggalkan, sebagai gantinya penghisapan lendir harus dilakukan dengan pipa penghisapan secara hati-hati agar tidak terjadi luka pada jalan nafas
(3)     Bila bayi perlu resusitasi, sedapat mungkin resusitasi dilakukan menggunakan ambu-beg, tidak dilakukan tindakan mulut ke mulut
(4)     Potonglah tali pusat bayi pada saat pulpasi telah menurun atau hilang
(5)     Untuk contoh darah, spesimen diambil dari tali pusat
(6)     ASI dari Ibu yang terinfeksi HIV mempunyai resiko untuk bayi baru lahir, akan tetapi tidak beresiko untuk tenaga kesehatan
BAB III
PENUTUP

A.           KESIMPULAN
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virus penyebab adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Orang yang terinfeksi virus ini menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor/kanker.
Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi sederhana yang digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien, setiap saat pada semua tempat, pelayanan dalam rangka pengurangi resiko penyebaran infeksi.
Petugas kesehatan yang memberikan pelayanan keperawatan dan melakukan prosedur keperawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien akan kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh pasien sangat berisiko terpapar infeksi yang secara potensial membahayakan jiwanya, dan menjadi tempat dimana agen infeksius dapat berkembang biak yang kemudian menularkan infeksi dari satu pasien ke pasien lain.
Maka kegiatan universal precautions dipandang sangat strategik untuk mengendalikan infeksi HIV/AIDS di sarana pelayanan kesehatan, sebab kecuali memberikan perlindungan kepada pasien lain di sarana pelayanan kesehatan sehingga tidak perlu khawatir dalam memberikan pelayanan kepada semua pasien termasuk pasien yang diketahui menderitta HIV/AIDS. Hal ini akan meningkatkan pelayanan pasien infeksi HIV/AIDS di sarana pelayanan kesehatan dan diharapkan berdampak positif pada upaya penanggulangan infeksi HIV/AIDS di Indonesia.


B.           SARAN
Pembinaan sikap positif terhadap perawatan pasien HIV/AIDS perlu terus dilakukan dimana banyak orang masih menunjukan sikap negative terhadap perawatan pasien HIV/AIDS. Pembinaan ini bisa ditempuh dengan cara mensosialisasikan kemajuan yang positif dalam pengelolaan pasien HIV/AIDS, dukung moril, fasilitas, dan kebijakan dari institusi rumah sakit.




 
DAFTAR PUSTAKA


Andy. 2011. HIV/AIDS Pada Ibu Hamil. http://ilmu-pasti-pengungkap-kebenaran.blogspot.com/2011/11/hivaids-pada-ibu-hamil.html. Diakses tanggal 01 April 2014

Ayu. 2012. Pengaruh HIV/AIDS Terhadap Sistem Kekebalan Tubuh. http://ayups87.wordpress.com/2012/06/16/makalah-pengaruh-hivaids-terhadap-sistem-kekebalan-tubuh-manusia/. Diakses tanggal 01 April 2014

DepKes  RI. 2003.  Pedoman  Pelaksanaan  Kewaspadaan  Universal  di  Pelayanan Kesehatan. Jakarta.

Nursalam  dan  Ninuk. 2007.  Asuhan  Keperawatn  Pada  Pasien  Terinfeksi.  Jakarta. Salemba Medika.

Potter &Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktek. Edisi ke 4. Jakarta. EGC.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar